Pemilu Indonesia Terganggu oleh Urusan Bisnis yang Diwarnai Politik.

Pemilu Indonesia Terganggu oleh Urusan Bisnis yang Diwarnai Politik

Pemilu Indonesia Terganggu oleh Urusan Bisnis yang Diwarnai Politik – Ada dua peristiwa yang mendefinisikan 2018 sebagai tahun politik di Indonesia: pertama, Pilkada Serentak secara serentak) dan kedua, pendaftaran calon presiden untuk pemilihan presiden 2019. Kedua agenda politik akan memulai musim panas ini (masing-masing pada bulan Juni dan Agustus) dan tentunya akan memanaskan suhu politik di Indonesia serta mempolarisasi negara ini lagi, seperti pemilihan presiden 2014 dan pemilihan gubernur Jakarta 2017.

Akan tetapi, tahun politik 2018 tidak akan jauh berbeda dari masa lalu, walaupun Indonesia menikmati suasana politik yang relatif lebih demokratis setelah meninggalkan rezim Orde Baru Soeharto. Janji yang digemakan oleh reformasi (reformasi), yang dulu menjamin bahwa politik adalah untuk semua, kini telah terbukti hanya ilusi. Pada kenyataannya, politik Indonesia masih secara eksklusif untuk elit negara. slot

Politik di Indonesia mahal dan di banyak bagian negara itu hanya bisa dimasuki oleh orang kaya – mereka yang total kekayaannya miliaran atau bahkan triliunan rupiah. Pemilihan gubernur Jakarta 2017 adalah contoh utama. Pasangan calon yang berkuasa saat itu – Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat – masing-masing memiliki total kekayaan pribadi lebih dari 26 miliar ($ 2 juta) dan 6,2 miliar ($ 496.000) rupiah; pasangan Agus Harimurti Yudhoyono / Sylviana Murni memiliki total kekayaan lebih dari 16 miliar dan 8,3 miliar rupiah, dan pasangan yang menang, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, memiliki lebih dari 8 miliar dan 3,8 triliun rupiah. https://www.mrchensjackson.com/

Pemilu Indonesia Terganggu oleh Urusan Bisnis yang Diwarnai Politik.

Di luar Jakarta, ceritanya umumnya sama. Total kekayaan calon gubernur dan wakil gubernur dalam pemilihan gubernur Jambi tahun 2015 adalah antara 1,5 hingga 4,1 miliar rupiah; pasangan gubernur di Jawa Barat untuk Pilkada mendatang memiliki antara 1 hingga 38 miliar rupiah; dan para kontestan dalam Pilkada Kalimantan Timur 2013 memiliki antara 1,5-23 miliar rupiah.

Sementara itu, dalam Pilkada 2016 ada juga beberapa kandidat yang memiliki jumlah aset yang luar biasa, selain wakil gubernur Jakarta saat ini, Sandiaga Uno. Total kekayaan mereka berkisar antara 182 miliar hingga 2,26 triliun rupiah.

Alasan monopoli para elit di bidang politik Indonesia jelas: praktik politik di Indonesia mirip dengan bisnis. Untuk memenangkan pemilihan, seorang kandidat tidak bisa tidak mempersiapkan modal yang besar. Untuk menjadi kepala desa dibutuhkan biaya 130-150 juta rupiah; menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menelan biaya 1,18 hingga 4,6 miliar rupiah, seorang wali dari 20-30 miliar rupiah, seorang bupati adalah 75 miliar rupiah, seorang gubernur berkisar antara 100 hingga 400 miliar rupiah, dan biaya presiden hingga 7 triliun rupiah! Angka-angka fantastis ini tentu jauh dari jangkauan mayoritas orang Indonesia, yang pendapatan rata-rata hanya 47 juta rupiah per tahun.

Modal politik besar disiapkan untuk memuluskan apa yang disebut transaksi politik. Transaksi politik tidak pernah absen, terutama di bulan-bulan menjelang pemilihan. Dalam kasus pemilihan kandidat untuk posisi DPR atau kepala daerah misalnya, partai politik sering memungut biaya ilegal kepada siapa pun yang ingin mencalonkan diri. Direktur Forum Publik untuk Parlemen Indonesia Sebastian Salang harus meninggalkan niatnya untuk ikut serta dalam Pemilu Manggarai di Nusa Tenggara Timur pada tahun 2015 setelah tidak dapat memenuhi “uang tiket” yang diminta oleh suatu partai. Baru-baru ini, Ketua Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur (Kadin) La Nyalla Mattalitti melaporkan telah diperas oleh ketua Partai Gerindra, Prabowo Subianto. Mantan jenderal militer top, menurut Mattalitti, memintanya untuk menyediakan 40 miliar rupiah untuk upayanya dalam pemilihan Gubernur Jawa Timur 2018.

Meskipun Gerindra membantah meminta mahar ini, kontribusi keuangan kepada suatu partai tidak dapat dihindari oleh seorang kandidat, seperti yang diungkapkan oleh Ridwan Kamil ketika mencalonkan diri sebagai walikota Bandung pada tahun 2013. Kandidat gubernur Jawa Barat yang sekarang menegaskan bahwa ia memberikan uang tunai kepada Gerindra untuk membiayai kampanye pencalonannya. Selanjutnya, dalam proses penentuan nomor urut calon legislatif, transaksi semacam itu juga kerap terjadi. Mas kawin khusus harus diserahkan kepada pemimpin partai jika kontestan ingin ditempatkan di posisi nomor satu dalam daftar kandidat partai atau dicocokkan dengan daerah pemilihan tertentu (dapil).

Transaksi selanjutnya adalah transaksi antara bos besar atau pemodal politik (cukong) dan kandidat. Pemilihan umum Indonesia jelas bukan kompetisi antara calon tetapi antara cukong, yang biasanya mencurahkan banyak uang untuk calon yang menjanjikan. Keterlibatan cukong dalam Pilkada bukanlah dongeng, meskipun keberadaannya sulit dibuktikan. Mantan ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Indonesia (KPK), Busyro Muqoddas, mengakui bahwa cukong tidak ragu untuk mentransfer sejumlah besar uang ke rekening bank kandidat kepala daerah dengan imbalan perlindungan bisnis, kebijakan ramah, atau penawaran proyek pemerintah jika kandidat harus terpilih.

Antara kandidat dan konstituen, transaksi juga terjadi. Calon yang baik di mata banyak konstituen adalah mereka yang secara teratur memberikan “sumbangan” kepada masyarakat. Semakin banyak donasi, semakin baik kandidatnya. Fenomena “wani piro?” atau “berapa yang akan kamu bayar?” dieksploitasi secara efektif oleh para kandidat. Dengan demikian, bukanlah pemandangan yang aneh jika seorang calon legislatif atau kepala daerah tiba-tiba menjadi murah hati bagi sebuah komunitas, memberikan berbagai sumbangan mulai dari uang untuk pemberdayaan kaum muda hingga ambulan gratis yang akan berhenti beroperasi setelah pemilihan dan renovasi tempat-tempat ibadah. Contoh paling jelas dari transaksi politik semacam ini terjadi sesaat sebelum pemilihan gubernur Jakarta 2017, ketika tim Ahok tertangkap basah beberapa kali oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) membagikan barang belanjaan gratis kepada publik. Jika transaksi semacam itu ada di ibukota Indonesia, tentu saja sangat mungkin terjadi di daerah lain juga. Selain itu, seorang kandidat kadang-kadang juga menyediakan dana segar untuk dibagikan saat fajar pada hari pemilihan kepada setiap orang di daerah pemilihan yang ditargetkan. Teknik “serangan fajar” (serangan fajar) yang kotor ini populer di Indonesia dan telah berhasil mengangkat beberapa kandidat untuk berkuasa.

Tapi tidak ada makan siang gratis. Meskipun konstituen menganggap sumbangan kandidat sebagai kontribusi, kandidat menyebutnya investasi, atau investasi politik, tepatnya. Seperti dalam bisnis, investasi dalam politik dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan. Di sinilah penyakit kronis korupsi di kalangan politisi Indonesia berasal, karena mereka yang terpilih akan melakukan apa saja untuk mendapatkan kembali uang mereka. Sebagai akibatnya, korupsi telah menjadi topik umum di Indonesia dan berita yang terkait dengannya ada di TV hampir setiap hari. Dari 2004 hingga 2012 saja, ribuan pejabat lokal dan anggota DPR terlibat dalam kasus korupsi.

Fenomena bisnis yang terselubung dalam politik tidak diragukan lagi telah merusak wajah demokrasi Indonesia. Semua pihak di Indonesia harus bekerja dengan serius untuk menemukan solusi terbaik untuk wabah korupsi di negara ini. Praktik bisnis dalam politik Indonesia harus dicabut dengan – di antara langkah-langkah lain – memberikan pendidikan politik kepada warganya, memberlakukan sanksi keras terhadap politisi nakal, meningkatkan sistem auditori dan pemilihan, dan jika mungkin, kembali ke praktik lama di mana kepala daerah dipilih oleh DPR. Jika Indonesia tidak mengambil obat yang tepat untuk memberantas wabah, demokrasi di negara itu tidak akan lagi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, tetapi dari para elit, oleh para elit, untuk para elit. Dan itu artinya untuk tahun 2018 dan masa mendatang, politik di Indonesia akan tetap seperti biasa.